Prodi S2 Ilmu Perairan

Fakta yang Nggak-nggak tentang Mahasiswa Indonesia di Mesir

Home Forums Kegiatan Kemahasiswaan Fakta yang Nggak-nggak tentang Mahasiswa Indonesia di Mesir

Viewing 1 post (of 1 total)
  • Author
    Posts
  • #1458
    admin
    Keymaster

    Cukup kaget karena respon yang saya dapat cukup banyak. Terima kasih masisir, akhirnya saya merasakan jadi orang yang cukup terkenal, walau dengan nama yang jelek. Hehe nggak masalah buat saya yang sudah jelek. Oh iya, masisir itu singkatan dari mahasiswa Indonesia di Mesir.

    Sebagai catatan, walaupun judulnya fakta, pada hakikatnya tulisan saya ini opini pribadi, bisa saja salah dan nggak menurut kawan-kawan. Pasalnya, komentar yang hadir isinya beragam yang pada intinya saya dihujat dikritik karena membangun opini buruk. Emang dasar saya yang suka buat masalah sih.

    Oke langsung saja kepada intinya. Masisir pada awalnya merupakan orang-orang pilihan dari sekian ribu calon peserta. Waktu saya mendaftar tes seleksi, terdapat sekitar lima ribuan nama yang mendaftar. Namun, yang lolos hanya sekitar 20%-nya saja. Alhamdulilah, untungnya saya termasuk ke bagian itu karena sebelumnya saya sudah merelakan SNMPTN yang saya dapat.

    Orang-orang pilihan ini tentunya bukan remahan roti. Banyak yang saya temui merupakan orang berprestasi semasa sekolahnya. Ada yang sudah mengkhatamkan hafalan Qurannya, ada yang fasih dalam tiga bahasa, Indonesia, Inggris, dan Arab, atau sekalian bahasa daerahnya digabung jadi empat.

    Nah, kehidupannya berubah nih setelah lulus. Soalnya kuliah di Mesir itu bebas. Sehingga tercipta kesenjangan intelektual. Kalau dia rajin, maka ilmunya bertambah banyak, dan kalau dia malas, maka ilmunya mandek di situ. Atau bahkan malah lebih buruk dari sebelum jadi mahasiswa. Emang ada yang seperti itu? Wah, nggak boleh suuzon nih, Insyaallah nggak ada.

    Berikut ini fakta yang nggak-nggak tentang masisir. Ini yang keren-keren, nggak kayak saya yang benalu ini hehe.
    Nggak bisa menahan diri untuk nggak beli buku

    Toko-toko buku—selanjutnya kita sebut kitab saja biar Arabnya lebih terasa dan ‘bobotnya’ lebih berat—yang ada di Mesir jumlahnya nggak ketulungan, buanyak banget. Saking banyaknya, satu judul kitab bisa diterbitkan oleh beberapa penerbit, yang disebar lagi ke banyak toko buku. Kalau kita mau beli satu kitab nih, kita bukan hanya menanyakan di mana belinya, tapi juga cetakan mana.

    Maka, syahwat masisir terhadap kitab benar-benar tinggi. Ditambah lagi di Mesir terdapat pameran buku yang sangat besar, terbesar kedua di dunia setelah Frankfurt. Uang ratusan ribu Rupiah untuk membeli kitab terhitung kecil. Biasanya, dalam setahun banyak masisir menghabiskan jutaan Rupiah untuk membeli kitab.

    Hasilnya, dipajang dong di dalam rumah sebagai prestise dan awal niat baik sekaligus bekal untuk meneguk ilmu. Satu mahasiswa biasanya punya rak buku untuk meletakkan kitab-kitabnya untuk dua orang, bahkan ada yang untuk satu orang saja.

    Kitab-kitab yang sudah dibeli sepatutnya tidak didiamkan menjadi pajangan saja hingga menjadi sarang kecoa. Tentu saja dibaca dong, dan dipelajari. Bagaimana caranya? Pergi ke majelis ilmu—selanjutnya disebut talaqqi—dan mengaji langsung dengan seorang syekh yang mengampu sebuah kitab yang harus dipelajari di bawah bimbingan ansthelabel seorang guru agar tidak melenceng. Syekh yang ada di Mesir ini bukan ustadz-ustadz biasa yang nongol karena viral saja. Seorang syekh pengampu talaqqi biasanya sudah menyelesaikan hafalan Qurannya sejak usia dini, belajar kepada banyak guru, mengulang-ulang apa yang telah dipelajari hingga siap untuk menyebarkan ilmunya.

    Kalau sudah niat jadi ulama, seorang masisir tidak mencukupkan diri dengan kuliah di kampus. Bakalan bolak-balik majelis ilmu, bahkan hingga pulang ke rumah setelah Isya. Rumah hanya menjadi tempat persinggahan untuk istirahat dan makan. Terus, buang airnya di mana? Masjid banyak kok di sini.

    Selain keliling talaqqi, ada juga yang sibuk organisasi. Mahasiswa kura-kura lah. Entah memang niatnya kepengen jadi politikus atau nyari relasi, yang jelas masisir macam ini sering mondar-mandir ketika ada seminar atau acara, jadi panitia soalnya. Kalau sukses, yang biasa mondar-mandir ini ke depannya bisa menduduki kursi Presiden PPMI. Kalau nggak, minimal banyak sertifikat lah.
    Nggak punya banyak waktu kosong

    Karena kegiatan yang bertumpuk dari pagi hingga malam, waktu kosong hanya sedikit. Buka hape bisa dihitung hanya sekitar satu jam saja. Sisanya, digunakan untuk waktu produktif. Ada yang setelah pergi talaqqi, pulangnya langsung mengulang kembali dars (pelajaran) yang di dapat selama talaqqi. Ada yang langsung ditulis, dan ada juga yang hanya disimpan sendiri.

    Saya nggak tahu apa di hpnya ada game moba atau PUBG, yang jelas tulisan di media sosial mereka berbobot. Nggak receh kayak tulisan-tulisan yang saya buat. Apalagi kalau sudah berada di jenjang S2, saya nggak yakin kalau hape beliau-beliau dipakai buat nge-yutub konten-konten tak berfaedah.
    Baca Juga: Pacarku Dapat Pacar Baru di Lokasi KKN
    Nggak biasa mengerjakan maksiat

    “Hah, maksiat!? Astaghfirullah, ya akhi, antum jauh-jauh menuntut ilmu kok masih bisa maksiat? Ingat orang tua antum, ingat masyarakat, ingat umat nanti, gimana nasib mereka.”

    Maksiat yang ada di masisir nggak separah mahasiswa yang di Indonesia kok. Bisa dikatakan se-nakalnya masisir, mereka tetap masuk kategori saleh kalau dibandingkan dengan mahasiswa yang di Indonesia.

    Contohnya, kalau ada cewe seksi lewat— biasanya warga lokal—kebanyakan pada tundukkin pandangan. Nggak ada yang sampai fokus ngeliatin. Terus juga nggak suka ngomong kotor, sukanya zikir sama salawat. Adem…

    “Tapi katanya kemarin, nggak saleh-saleh amat?”

    Ya iyalah. Saya merasa kalau saya nggak saleh-saleh amat kok. Soalnya ekspektasi kebanyakan orang Indonesia terhadap masisir ya jadi saleh banget, mirip ulama dah. Entah bagaimana dengan antum, iya antum yang dm Instagram saya.
    Nggak melupakan orang tua, sanak kerabat, tetangga, dan masyarakat sekampung

    Teman saya, hampir setiap sore terlihat sedang menelepon keluarganya. Entah itu orang tuanya, pamannya, teman-temannya, semuanya ditelepon. Saya bertanya apa alasannya menghubungi orang-orang yang jauh di sana hampir setiap waktu.

    “Keluarga saya termasuk orang awam. Saya sebagai pelajar tentu berkewajiban untuk selalu mendakwahi mereka. Kan, dakwah itu dimulai kepada keluarga dekat terlebih dahulu,” begitu jawabnya.

    Masisir macam teman saya ini mempunyai rasa tanggung jawab yang besar. Dia paham kalau keberangkatannya ke negeri orang bukan untuk main-main. Karena ketika pulang nanti, tugasnya bukan lagi belajar, melainkan mengajar. Tidak ada lagi sisa waktu yang cukup untuk belajar.

    Sudah saatnya masyarakat kita mengenal diaspora Indonesia yang berada di negeri yang jauh-jauh. Pengalaman unik tentunya banyak dan bisa menjadi bahan cerita nanti.

Viewing 1 post (of 1 total)
  • You must be logged in to reply to this topic.